(Pengembangan
Metodologi Pembelajaran)
PROSES
BELAJAR MEMBACA PERMULAAN KELAS I SD
DENGAN
SISTEM ASSIMILASI MATERI DAN METODE YANG KOMPREHENSIP, SISTEMATIK, DAN
SISTEMIK
Disusun oleh:
M. RASYAD,
S.Pd.SD
(Guru
SDN Cenlecen 2, Kec. Pakong, Kab. Pamekasan, Madura)
2013
PROSES BELAJAR MEMBACA PERMULAAN KELAS
I SD
DENGAN SISTEM ASSIMILASI MATERI DAN
METODE YANG
KOMPREHENSIP, SISTEMATIK, DAN SISTEMIK
Disusun th. 2013 oleh: M.Rasyad, S.Pd.SD
(Guru SDN Cenlecen 2, Pakong, Pamekasan,
Madura)
ABSTRAK
Dalam kegiatan belajar membaca
permulaan di kelas I SD sering dijumpai ada beberapa siswa yang mengalami kesulitan
memahami bentuk tulisan dan pelafalan. Diantara penyebabnya adalah ketidak
tepatan pemilihan materi dan metode yang digunakan guru dalam proses belajar
mengajar. Dengan demikian bagaimana mempermudah
siswa dalam memahami bentuk tulisan dan pelafalan melalui penerapan
proses belajar membaca permulaan dengan sistem assimilasi materi dan metode
yang komprehensip, sistematik, dan sistemik. Oleh sebab itu perlu dirancang adanya upaya menggali materi awal
pelajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan bahasa anak kemudian menelaah dan
menyusun kerangka metode yang tepat dan selanjutnya kedua hal tersebut diassimilasikan
sehingga membentuk sistem assimilasi materi dan metode yang komprehensip,
sistematik, dan sistemik dengan tujuan
agar dapat dideskripsikan secara lengkap mulai dari penggalian materi, penelaahan
dan penyusunan kerangka metode, peng-assimilasian materi dan metode secara
komprehensip, sistematik, dan sistemik serta uraian cara penerapannya yang
jelas dan mudah untuk dapat digunakan sebagai panduan dalam proses belajar
mengajar membaca permulaan di kelas I SD dalam usaha mempermudah siswa memahami
bentuk tulisan dan pelafalan. Hasil
assimilasi tersebut yang merupakan perpaduan dan pertautan antara materi dengan
metode dapat digunakan sebagai informasi baru bagi akademisi, peneliti, dan
pemerhati pendidikan dalam upaya mengembangkan metode membaca di SD. Sedangkan
bagi praktisi (guru SD) sebagai solusi untuk mempermudah siswa dalam
memahami bentuk tulisan dan pelafalan. Proses belajar membaca permulaan dengan sistem tersebut sangat
terkait erat dengan penyusunan materi awal pelajaran yang terbagi dalam 6 tahap
yang kemudian materi pada tiap tahapnya dikembangkan melalui kerangka metode secara
komprehensip, sistematik, dan sistemik dengan lama penerapan 1 x pertemuan.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan proses belajar mengajar
khususnya dalam kegiatan belajar membaca permulaan di kelas satu sekolah dasar
sering dijumpai ada beberapa siswa mengalami kesulitan dalam memahami bentuk
tulisan dan pelafalan. Kesulitan belajar tersebut disebabkan oleh banyak faktor,
diantara faktor penyebab yang menarik untuk ditelaah adalah mengenai ketidak
tepatan penerapan metode membaca dan metode lainnya yang digunakan dalam proses
belajar mengajar. Selama ini berbagai macam metode membaca seperti
metode eja (melafalkan bunyi huruf atau fonem), metode huruf (menyebut nama huruf),
metode suku kata, metode kata dan metode kalimat dan juga metode lainnya seperti
bercerita (meceritakan wacana), permainan (tebak-tebakan), penemuan (merangkai
suku kata atau huruf), poster (pemajangan), bertanya,
diskusi, pemberian tugas, kerja kelompok, ceramah, pemecahan masalah dan
lain-lainnya penerapannya dilaksanakan secara terpisah-pisah tidak ada
keterkaitan antara metode yang satu dengan metode yang lainnya serta tidak
memperhatikan urgensi masing-masing metode. Metode yang mana yang perlu diterapkan
lebih dahulu dan yang mana pula yang diterapkan kemudian. Penggunaan metode
yang demikian tentu dapat menyebabkan pelajaran yang disajikan menimbulkan
kesulitan bagi siswa dalam bernalar terhadap apa yang dilihat, didengar dan
yang dibacanya sehingga hasilnya kurang menyerap pada struktur kognitif siswa.
B. Permasalahan
Berdasarkan hal tersebut di atas
maka bagaimana mempermudah siswa dalam memahami
bentuk tulisan dan pelafalan yang sesuai dengan modalitas dan karakteristik anak usia
SD melalui proses belajar membaca permulaan dengan sistem assimilasi materi dan
metode yang komprehensip, sistematik, dan sistemik.
C. Rancangan Pemecahan Masalah
Dengan mengingat pentingnya masalah
tersebut maka yang perlu dilakukan adalah pertama mengadakan penggalian materi awal
pelajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan bahasa anak dan yang kedua
mengadakan penelaahan dan penyusunan terhadap berbagai macam metode membaca dan
metode lainnya. Kedua macam metode tersebut ditelaah secara
cermat dan tepat tentang kegunaannya, cara penerapannya, urutan keterkaitannya,
dan tujuan dari masing-masing metode. Setelah masing-masing materi dan
metode tersebut tersusun maka selanjutnya diassimilasikan dengan
cara mengembangkan materi awal pelajaran sesuai dengan kerangka metode sehingga
membentuk sistem assimilasi materi dan metode yang komprehensip, sistematik,
dan sistemik.
D. Tujuan
Assimilasi antara materi awal
pelajaran dengan kerangka metode yang sesuai dengan modalitas dan karakteristik
anak usia SD sehingga membentuk sistem assimilasi yang komprehensip,
sistematik, dan sistemik adalah dengan tujuan
agar dapat dideskripsikan secara lengkap mulai dari penggalian materi, penelaahan
dan penyusunan kerangka metode, peng-assimilasian materi dan metode secara
komprehensip, sistematik, dan sistemik serta uraian cara penerapannya yang
jelas dan mudah untuk dapat digunakan sebagai panduan dalam proses belajar
mengajar membaca permulaan di kelas I SD dalam usaha mempermudah siswa memahami
bentuk tulisan dan pelafalan.
E. Manfaat
Hasil assimilasi seperti yang
dijadikan nama judul di atas dapat digunakan sebagai informasi baru bagi
akademisi, peneliti dan pemerhati pendidikan dalam upaya mengembangkan metode
membaca permulaan di SD. Sedangkan bagi praktisi (guru SD) sebagai solusi untuk
mempermudah siswa dalam memahami bentuk tulisan dan pelafalan. Proses
belajar membaca permulaan dengan sistem tersebut sangat terkait erat dengan
penyusunan materi awal pelajaran yang terbagi dalam 6 tahap yang kemudian
materi pada tiap tahapnya dikembangkan melalui kerangka metode secara
komprehensip, sistematik, dan sistemik.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Konsep/Teori
Konsep/teori yang menjadi landasan penyusunan
sistem assimilasi materi dan metode dalam proses belajar membaca permulaan adalah:
1. Metode
dan Strategi
Dalam Dinn Wahyudin (2007:3.4-3.5) disebutkan metode adalah cara yang
digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan
instruksional yang ditetapkan. Sedangkan strategi lebih merupakan perencanaan
atau taktik yang dirancang sedemikian rupa untuk tujuan pembelajaran yang lebih
khusus.
Dalam Asep Herry Hernawan (2008:1.23) dikatakan strategi pembelajaran
sangat penting dikaji dalam studi tentang kurikulum, baik secara makro maupun
mikro. Strategi pembelajaran ini berkaitan dengan masalah cara atau sistem
penyampaian isi kurikulum (delivery system) dalam rangka pencapaian tujuan yang
telah dirumuskan. Pengertian strategi pembelajaran dalam hal ini meliputi
pendekatan, prosedur, metode, model, dan teknik yang dipergunakan dalam
menyajikan bahan/isi kurikulum. Sujana (1988) mengemukakan bahwa strategi
pembelajaran pada hakikatnya adalah tindakan nyata dari guru dalam melaksanakan
pembelajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektif dan lebih
efisien. Dengan kata lain, strategi ini berhubungan dengan siasat atau taktik
yang digunakan guru dalam melaksanakan kurikulum secara sistemik dan
sistematik. Sistemik mengandung arti adanya saling keterkaitan di antara
komponen kurikulum sehingga terorganisasikan secara terpadu dalam mencapai
tujuan, sedangkan sistematik mengandung pengertian bahwa langkah-langkah yang
dilakukan guru secara berurutan sehingga mendukung tercapainya tujuan.
2. Belajar
John Dewey dalam Rudi Susilana (2008:11.5) menyatakan
“belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan oleh dirinya sendiri, maka
inisiatif belajar harus muncul dari dirinya”. Dengan demikian, kesadaran untuk
melakukan kegiatan belajar harus datang dari setiap individu, sebab belajar
tidak bisa dipaksakan oleh orang lain.
Ausubel Agus Taufik (2007:6.14-6.15) menurutnya, belajar bermakna merupakan
proses mengaitkan informasi atau materi baru dengan konsep-konsep yang telah
ada dalam struktur kognitif. Dalam belajar bermakna informasi atau materi
pembelajaran baru diasimilasikan pada subsumer-subsumer yang relevan dengan
struktur kognitif. Akibat dari pemaknaan itu, subsumer - subsumer tersebut
berkembang. Perkembangan subsumer tersebut sangat bergantung kepada
kejadian-kejadian pengalaman seseorang.
Menurut Ausubel (1963) dalam Agus Taufik (2007:6.15)
kebermaknaan suatu pembelajaran sangat dipengaruhi oleh sedikitnya 3 faktor,
yaitu struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam
suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sementara itu, Dahar
(1996:116) dalam Agus Taufik (2007:6.15) mengemukakan dua prasyarat terjadinya
belajar bermakna, yaitu (1) materi yang akan dipelajari harus bermakna secara
potensial, dan (2) anak yang akan belajar harus bertujuan belajar bermakna. Kebermaknaan
potensial materi pelajaran bergantung kepada 2 faktor, yaitu (1) materi itu
harus memiliki kebermaknaan logis dan (2) gagasan-gagasan yang relevan harus
terdapat dalam struktur kognitif peserta didik (Dahar, 1996:116) dalam Agus
Taufik (2007:6.15).
Dalam Ihat Hatimah dan Sadri (2007:1.26) proses belajar
yang terjadi pada diri siswa menurut teori konstruktivis bukan sebagai
perolehan informasi yang berlangsung satu arah (dari luar siswa ke dalam diri
siswa), melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa terhadap pengalamannya
melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada kemutakhiran struktur
kognitifnya.
Mulyani Sumantri (2007:1.38-1.39) mengatakan pada awal
pengalaman belajar langkah pertama yang perlu dilakukan ialah mengenali
modalitas kita, yaitu bagaimana menyerap informasi dengan mudah. Apakah
mudalitas kita visual, yaitu belajar melalui apa yang dilihat; apakah
auditorial yaitu belajar melalui apa yang didengar; ataukah kinestetik yaitu
belajar melalui gerak dan sentuhan. Walaupun masing-masing dari kita belajar
dengan menggunakan ketiga modalitas itu pada tahapan tertentu, kebanyakan orang
lebih cenderung pada salah satu diantara ketiganya (Bobbi De Porter,
1992).
Sebuah pepatah Cina kuno yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa, bunyinya:
Saya mendengar, maka saya lupa,
Saya melihat, maka saya
ingat,
Saya melakukan, maka saya memahami.
Pepatah tersebut sejalan dengan modalitas yang telah
dikemukakan yaitu bahwa murid mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda: visual,
auditorial atau kinestetis. Agar murid-murid memperoleh hasil belajar dengan
baik, gaya belajarnya harus sesuai dengan gaya guru dalam mengajar.
Dalam Udin S.Winataputra (2007:1.8), menurut Bower dan
Hilgard (1981), yaitu bahwa belajar mengacu pada perubahan perilaku atau
potensi individu sebagai hasil dari pengalaman dan perubahan tersebut tidak
disebabkan oleh insting, kematangan atau kelelahan dan kebiasaan.
Dalam Ihat Hatimah dan Sadri (2007:1.26) proses belajar
yang terjadi pada diri siswa menurut teori konstruktivis bukan sebagai
perolehan informasi yang berlangsung satu arah (dari luar siswa ke dalam diri
siswa), melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa terhadap pengalamannya
melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada kemutakhiran struktur
kognitifnya.
Mulyani Sumantri (2007:1.38-1.39) mengatakan pada awal
pengalaman belajar langkah pertama yang perlu dilakukan ialah mengenali
modalitas kita, yaitu bagaimana menyerap informasi dengan mudah. Apakah mudalitas
kita visual, yaitu belajar melalui apa yang dilihat; apakah auditorial yaitu
belajar melalui apa yang didengar; ataukah kinestetik yaitu belajar melalui
gerak dan sentuhan. Walaupun masing-masing dari kita belajar dengan menggunakan
ketiga modalitas itu pada tahapan tertentu, kebanyakan orang lebih cenderung
pada salah satu diantara ketiganya (Bobbi De Porter, 1992). Murid mempunyai
gaya belajar yang berbeda-beda: visual, auditorial atau kinestetis. Agar
murid-murid memperoleh hasil belajar dengan baik, gaya belajarnya harus sesuai
dengan gaya guru dalam mengajar.
3. Metode Tanya Jawab
Puji Lestari (2007:3.31) menyebutkan pertanyaan yang merangsang pemikiran
kreatif adalah pertanyaan divergen (terbuka). Pertanyaan semacam ini dapat
merangsang diskusi karena memiliki banyak kemungkinan jawaban. Pertanyaan
semacam ini membantu siswa mengembangkan keterampilan mengumpulkan fakta,
merumuskan hipotesis, dan menguji atau menilai informasi mereka. Agar tampak
manfaatnya, pertanyaan terbuka harus mencakup bahan yang cukup dikenal siswa.
Oleh karena itu, guru pun disarankan untuk tetap berada dalam jalur tujuan
instruksional dari suatu pokok bahasan.
Menurut Puji Lestari (2007:3.31) pertanyaan-pertanyaan, seperti apa
akibatnya……, seandainya………umumnya merupakan pertanyaan yang dapat merangsang
imajinasi siswa untuk menampilkan gagasan baru, khususnya penemuan baru. Guru
yang mendorong proses pemikiran yang tidak hanya mengenai data yang sudah ada
akan menghasilkan anak yang bukan hanya pelaksana, tetapi juga pemikir, penemu
maupun pencipta.
Apa sebenarnya metode bertanya? Menurut Winataputra (2005:7.3-7.4) adalah
penyampaian pelajaran dengan jalan guru mengajukan pertanyaan dan murid
menjawab dengan tujuan untk memperoleh informasi, tetapi juga untuk meningkatkan
terjadinya interaksi antara guru dengan siswa, dan antar siswa dengan siswa.
Selanjutnya dikatakan dalam proses belajar mengajar, bertanya memegang peranan
yang penting, sebab pertanyaan yang tersusun dengan teknik pengajuan yang tepat
akan mampu: (1) meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar,
(2) membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap masalah yang sedang
dibicarakan, (3) mengembangkan pola berpikir dan belajar aktif siswa, sebab
berpikir sendiri adalah bertanya, (4) menuntun proses berpikir siswa, sebab
pertanyaan yang baik akan membantu siswa agar dapat menentukan jawaban yang
baik, (5) memusatkan perhatian siswa terhadap masalah yang sedang dibahas.
4. Penemuan
Bruner (Dewi Andriyani: 2007:3.18) belajar bermakna hanya dapat terjadi
melalui belajar penemuan. Agar
belajar menjadi bermakna dan memiliki struktur
informasi yang kuat, siswa harus aktif mengidentifikasi
prinsip-prinsip kunci yang ditemukannya sendiri, bukan hanya sekadar menerima
penjelasan dari guru saja. (Gagne/Berliner, 319-320).
Bruner yakin bahwa belajar penemuan adalah proses belajar
di mana guru harus menciptakan situasi belajar yang problematis, menstimulus
siswa dengan pertanyaan-pertanyaan, mendorong siswa mencari jawaban sendiri,
dan melakukan eksperimen. Bentuk lain dari belajar penemuan adalah guru
menyajikan contoh-contoh dan siswa bekerja dengan contoh tersebut sampai dapat
menemukan sendiri hubungan antarkonsep. Menurut Bruner, belajar penemuan pada
akhirnya dapat meningkatkan penalaran dan kemampuan untuk berpikir secara bebas
dan melatih keterampilan kognitif siswa dengan cara menemukan dan memecahkan
masalah yang ditemui dengan pengetahuan yang benar-benar bermakna bagi dirinya.
Dalam menerapkan model belajar penemuan ini, seorang guru dianjurkan untuk
tidak memberikan materi pelajaran secara utuh. Siswa cukup diberikan konsep
utama, untuk selanjutnya siswa dibimbing agar dapat menemukan sendiri sampai
akhirnya dapat mengorganisasikan konsep tersebut secara utuh. Untuk itu guru perlu
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mendapatkan
konsep-konsep yang belum disampaikan oleh guru dengan pendekatan belajar
problem solving.
Ihat Hatimah dan Sadri (2007:9.23) menyebutkan
menemukan merupakan inti dari
pembelajaran kontektual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa
merupakan hasil dari penemuan siswa itu sendiri.
Tahapan yang dapat dilalui dalam proses inquiry secara
keseluruhan adalah:
1.) Kegiatan pemberian dorongan. Kegiatan ini
ditujukan untuk menarik
perhatian siswa dan mengungkapkan bahan belajar yang akan dipelajari
dengan bahan belajar yang sudah dikuasai.
2.) Kegiatan penyampaian rencana progam
pembelajaran yang harus diikuti siswa.
3.) Pelaksanaan inquiry, dengan langkah-langkah:
- Pengajuan
permasalahan
- Pengajuan pertanyaan penelitian (hipotesis)
- Pengumpulan data
-
Penarikan kesimpulan
-
Penarikan generalisasi.
4.) Umpan
balik. Kegiatan ini ditujukan untuk melihat respons siswa terhadap keseluruhan
bahan belajar.
5.)
Penilaian tentang keseluruhan
aspek yang sudah dicapai oleh siswa.
5. Karakteristik
Anak Usia SD
Nana Syaodih (2007:6.3) menyebutkan karakteristik yang
menonjol pada anak usia SD adalah senang bermain, selalu bergerak, bekerja atau
bermain dalam kelompok, dan senantiasa ingin melaksanakan atau merasakan
sendiri.
Disamping memperhatikan karakteristik anak usia SD,
implikasi pendidikan dapat pula bertolak dari kebutuhan peserta didik.
Pemaknaan kebutuhan SD dapat diidentifikasi dari tugas-tugas perkembangannya.
Tugas-tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang muncul pada saat atau suatu
periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan
rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas
berikutnya, sementara kegagalan dalam melaksanakan tugas tersebut menimbulkan
rasa tidak bahagia, ditolak oleh masyarakat dan kesulitan dalam menghadapi
tugas-tugas berikutnya. Havighurst
(1961:2) menyatakan bahwa: A development task which arises at or about a
certain period in the life of the individual, successful achievement of which
leads to his happiness and to success with later tasks, while failure leads to
unhappiness in the individual, disapproval by the society, and difficulty with
later tasks.
Nana
Syaodih (2007:6.5) menyebutkan tugas-tugas perkembangan yang bersumber dari
kematangan fisik diantaranya adalah belajar berjalan, belajar
melempar-menangkap dan menendang bola, belajar menerima jenis kelamin yang
berbeda dengan dirinya. Beberapa tugas perkembangan terutama bersumber dari
kebudayaan seperti belajar membaca, menulis dan berhitung, belajar bertanggung
jawab sebagai warga negara. Sementara tugas-tugas perkembangan yang bersumber
dari nilai-nilai kepribadian individu diantaranya memilih dan mempersiapkan
untuk bekerja, memperoleh nilai filsafat dalam kehidupan.
Anak
usia SD ditandai oleh tiga dorongan ke luar yang besar yaitu: (1) kepercaan
anak untuk keluar rumah dan masuk dalam kelompok sebaya, (2) kepercayaan anak
memasuki dunia permainan dan kegiatan yang memerlukan keterampilan fisik, dan
(3) kepercayaan mental untuk memasuki dunia konsep, logika, dan simbolis dan
komunikasi orang dewasa.
Dengan
demikian pemahaman terhadap tugas-tugas perkembangan anak SD dapat dijadikan
titik awal untuk menentukan tujuan pendidikan di SD, dan untuk menentukan waktu
yang tepat dalam memberikan pendidikan sesuai dengan kebutuhan perkembangan
anak itu sendiri.
Nana
Syaodih (2007:6.13) meyebutkan perkembangan anak SD merupakan tahapan
perkembangan yang sangat penting, baik bagi perkembangan pendidikan maupun
perkembangan pribadi. Studi longitudinal yang dilaksanakan Bloom (1964)
memberikan gambaran bahwa prestasi akademik umum pada kelas 12 (kelas 3 sekolah
menengah) diperkaya oleh prestasi akademik pada akhir tahun kelas 3 SD. Temuan
ini memberikan gambaran bahwa tahun-tahun pertama anak belajar di sekolah dasar
berpengaruh sangat signifikan terhadap sikap anak terhadap sekolah dan
pola-pola pencapaian prestasi tahap-tahap selanjutnya. Di samping itu, temuan
penelitian memberikan gambaran bahwa perilaku anak pada usia 6 sampai dengan 10
tahun memiliki kadar prediksi yang tinggi bagi perilakunya nanti saat dewasa
(Dinkmeyer dan Caldwel, 1970).
B. Alternatif Rancangan Aplikasi
Alternatif konsep/teori yang dipilih dalam merancang sistem
assimilasi materi dan metode dalam proses belajar membaca permulaan adalah:
1. Menelaah Metode dan strategi yang akan
digunakan dalam merancang metode pembelajaran membaca dengan tepat merupakan
hal penting karena nanti sangat menentukan keberhasilan proses belajar mengajar.
Disini metode merupakan suatu cara yang digunakan oleh pendidik untuk
menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan instruksional yang
ditetapkan. Sedangkan strategi lebih merupakan perencanaan atau taktik yang
dirancang sedemikian rupa untuk tujuan pembelajaran yang lebih khusus, demikian
menurut Dinn Wahyudin (2007:3.4-3.5). Strategi berhubungan dengan siasat atau
taktik yang digunakan guru dalam melaksanakan kurikulum secara sistemik dan
sistematik. Sistemik mengandung arti adanya saling keterkaitan di antara
komponen kurikulum sehingga terorganisasikan secara terpadu dalam mencapai
tujuan, sedangkan sistematik mengandung pengertian bahwa langkah-langkah yang
dilakukan guru secara berurutan sehingga mendukung tercapainya tujuan, hal ini
sejalan dengan yang dikatakan oleh Asep Herry Hernawan (2008:1.23)
2. Pengertian
belajar menjadi panduan yang perlu dipahami agar penyusunan metode pembelajaran
membaca tidak salah arah. Ausubel Agus Taufik (2007:6.14-6.15) menurutnya,
belajar bermakna merupakan proses mengaitkan informasi atau materi baru dengan
konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif. Dalam belajar bermakna
informasi atau materi pembelajaran baru diasimilasikan pada subsumer-subsumer yang
relevan dengan struktur kognitif. Akibat dari pemaknaan itu, subsumer - subsumer
tersebut berkembang. Perkembangan subsumer tersebut sangat bergantung kepada
kejadian-kejadian pengalaman seseorang. Mulyani Sumantri (2007:1.38-1.39)
mengatakan pada awal pengalaman belajar langkah pertama yang perlu dilakukan
ialah mengenali modalitas kita, yaitu bagaimana menyerap informasi dengan
mudah. Apakah mudalitas kita visual, yaitu belajar melalui apa yang dilihat;
apakah auditorial yaitu belajar melalui apa yang didengar; ataukah kinestetik
yaitu belajar melalui gerak dan sentuhan. Sebuah pepatah Cina kuno yang
telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, bunyinya:
Saya mendengar, maka saya lupa,
Saya melihat, maka saya
ingat,
Saya melakukan, maka saya memahami.
3. Untuk
melengkapi penyusunan metode pembelajaran membaca maka metode lainnya seperti
metode tanya jawab dan metode penemuan menjadi bagian penting yang tak
terpisahkan dengan metode membaca yang merupakan metode pokok. Selanjutnya
metode tanya jawab ini akan digunakan dalam pembelajaran dengan permainan
tebak-tebakan. Sedangkan metode penemuan sebagai dasar yang sangat urgen dalam
membentuk siswa sebagai pribadi yang mampu bernalar sebagai calon penemu masa
depan. Menurut Puji Lestari (2007:3.31) menyebutkan pertanyaan yang merangsang
pemikiran kreatif adalah pertanyaan divergen (terbuka). Pertanyaan semacam ini
dapat merangsang diskusi karena memiliki banyak kemungkinan jawaban. Pertanyaan
semacam ini membantu siswa mengembangkan keterampilan mengumpulkan fakta,
merumuskan hipotesis, dan menguji atau menilai informasi mereka. Agar tampak
manfaatnya, pertanyaan terbuka harus mencakup bahan yang cukup dikenal siswa.
Oleh karena itu, guru pun disarankan untuk tetap berada dalam jalur tujuan
instruksional dari suatu pokok bahasan. Pertanyaan-pertanyaan, seperti apa akibatnya……....,
seandainya………, umumnya merupakan
pertanyaan yang dapat merangsang imajinasi siswa untuk menampilkan gagasan
baru, khususnya penemuan baru. Guru yang mendorong proses pemikiran yang tidak
hanya mengenai data yang sudah ada akan menghasilkan anak yang bukan hanya
pelaksana, tetapi juga pemikir, penemu maupun pencipta. Selanjutnya menurut Bruner
(Dewi Andriyani: 2007:3.18) belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Agar belajar
menjadi bermakna dan memiliki struktur
informasi yang kuat, siswa harus aktif mengidentifikasi
prinsip-prinsip kunci yang ditemukannya sendiri, bukan hanya sekadar menerima
penjelasan dari guru saja. (Gagne/Berliner, 319-320). Bruner yakin bahwa
belajar penemuan adalah proses belajar di mana guru harus menciptakan situasi
belajar yang problematis, menstimulus siswa dengan pertanyaan-pertanyaan,
mendorong siswa mencari jawaban sendiri, dan melakukan eksperimen. Bentuk lain
dari belajar penemuan adalah guru menyajikan contoh-contoh dan siswa bekerja
dengan contoh tersebut sampai dapat menemukan sendiri hubungan antarkonsep.
Menurut Bruner, belajar penemuan pada akhirnya dapat meningkatkan penalaran dan
kemampuan untuk berpikir secara bebas dan melatih keterampilan kognitif siswa
dengan cara menemukan dan memecahkan masalah yang ditemui dengan pengetahuan
yang benar-benar bermakna bagi dirinya. Dalam menerapkan model belajar penemuan
ini, seorang guru dianjurkan untuk tidak memberikan materi pelajaran secara
utuh. Siswa cukup diberikan konsep utama, untuk selanjutnya siswa dibimbing
agar dapat menemukan sendiri sampai akhirnya dapat mengorganisasikan konsep
tersebut secara utuh. Untuk itu guru perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada siswa untuk mendapatkan konsep-konsep yang belum disampaikan oleh guru
dengan pendekatan belajar problem solving.
4. Hal yang penting lagi dalam menyusun metode
pembelajaran membaca terlebih dahulu perlu memahami perilaku anak usia SD agar
metode yang disusun nanti cocok dengan modalitas dan karakteristik anak. Nana
Syaodih (2007:6.3) menyebutkan karakteristik yang menonjol pada anak usia SD
adalah senang bermain, selalu bergerak, bekerja atau bermain dalam kelompok,
dan senantiasa ingin melaksanakan atau merasakan sendiri. Menurut Nana Syaodih (2007:6.5) anak
usia SD ditandai oleh tiga dorongan ke luar yang besar yaitu: (1) kepercaan
anak untuk keluar rumah dan masuk dalam kelompok sebaya, (2) kepercayaan anak
memasuki dunia permainan dan kegiatan yang memerlukan keterampilan fisik, dan
(3) kepercayaan mental untuk memasuki dunia konsep, logika, dan simbolis dan
komunikasi orang dewasa. Studi longitudinal yang dilaksanakan Bloom (1964)
memberikan gambaran bahwa prestasi akademik umum pada kelas 12 (kelas 3 sekolah
menengah) diperkaya oleh prestasi akademik pada akhir tahun kelas 3 SD. Temuan
ini memberikan gambaran bahwa tahun-tahun pertama anak belajar di sekolah dasar
berpengaruh sangat signifikan terhadap sikap anak terhadap sekolah dan
pola-pola pencapaian prestasi tahap-tahap selanjutnya. Di samping itu, temuan
penelitian memberikan gambaran bahwa perilaku anak pada usia 6 sampai dengan 10
tahun memiliki kadar prediksi yang tinggi bagi perilakunya nanti saat dewasa
(Dinkmeyer dan Caldwel, 1970).
BAB III KARYA INOVASI PEMBELAJARAN
A. Ide Dasar
Ide dasar penyusunan sistem
assimilasi materi dan metode dalam proses belajar membaca permulaan adalah:
1. Bagaimana
menentukan materi pelajaran membaca yang sesuai dengan usia anak kelas I SD. Pada
dasarnya kegiatan belajar membaca permulaan di kelas satu sekolah dasar
haruslah bersesuaian dengan perkembangan bahasa anak. Dalam pelajaran bahasa
Indonesia di kelas satu sangat tepat apabila kata-kata yang akan diajarkan
kepada siswa mengandung fonem-fonem yang secara bertahap berkembang pada anak
sejak mulai belajar berbicara hingga anak masuk di kelas satu SD.
2. Bagaimana
mempermudah siswa kelas I SD dalam belajar membaca permulaan? Karena dalam kegiatan
proses belajar mengajar di kelas satu sekolah dasar ketika siswa mulai belajar
membaca permulaan sering dijumpai ada beberapa siswa yang mengalami kesulitan
dalam memahami bentuk tulisan dan pelafalan. Faktor penyebab yang utama dalam
permasalahan tersebut adalah metode yang digunakan. Solusinya adalah menentekan
kerangka metode yang tepat dan sesuai dengan modalitas dan karakteristik anak
usis SD.
B. Proses Inovasi
Penyusunan sistem assimilasi materi dan metode sebagai
berikut:
1. Penggalian Materi Awal Pelajaran
Urutan fonem-fonem yang secara bertahap berkembang pada
anak sejak mulai belajar berbicara hingga anak masuk di kelas satu SD, bila
ditulis dalam bentuk huruf adalah:
Tahap I : a,i,n, dan m.
Tahap II :
u dan b.
Tahap III : e dan p.
Tahap IV : o dan l.
Tahap V : h da t.
Tahap VI : d dan s.
Apabila huruf-huruf/fonem-fonem tersebut dirangkaikan
dengan menggunakan papan catur (kertas persegi berpetak) maka akan terbentuk
rangkaian huruf/fonem yang berstruktur vv, kv dan vk sebagaimana yang tertulis dalam
tabel 1 di bawah ini.
Pada tabel 1 di atas rangkaian huruf/fonem bagian tahap I
sampai tahap IV merupakan kelompok huruf/fonem yang rangkaian hurufnya/fonemnya
saling terkait. Sedangkan
pada tahap V dan VI hanya sebagian saja. Hal tersebut menunjukkan bahwa
rangkaian huruf/fonem vv, kv dan vk merupakan rangkaian-rangkaian huruf/fonem
yang berlapis berulang, sehingga bila dijadikan bahan pelajaran belajar membaca
maka banyak memberi keuntungan, karena:
1)
Bahan pelajaran tersebut disajikan
secara bertahap sehingga sesuai dengan perkembangan kemampuan siswa.
2)
Huruf-huruf/fonem-fonem tersebut
urutannya sesuai dengan perkembangan bahasa siswa.
3) Bila
rangkaian huruf-huruf/fonem-fonem tersebut saling dirangkaikan sehingga menjadi
kata-kata sehari-hari (bahasa anak) maka akan menjadi bahan pelajaran yang
komunikatif.
4) Dapat memperkuat daya ingat siswa sebab
bahan pelajarannya saling terkait dari
tahap I hingga tahap VI.
5)
Dapat memikat perhatian anak sebab
mudah dan bermakna (tiap
tahapnya ada persamaan dan perbedaan:
huruf/fonem, rangkaian huruf/fonem dan kata yang terbentuk).
Selanjutnya hasil
perangkaian huruf/fonem pada tabel 1 di atas tiap tahapnya dapat disusun materi awal pelajaran yang terdiri dari:
1).
Kata-kata terpilih (kata yang merupakan
penggabungan dari beberapa rangkaian huruf/fonem tanpa huruf mati), dan
2).
Kata-kata yang berakhir dengan huruf
mati.
Hasil penyusunan
materi awal pelajaran dari tiap-tiap tahap dapat dilihat pada tabel: 2, 3, 4,
5, 6, dan 7 di bawah ini.
Tahap I: Kelompok
huruf/fonem a, i, n, dan m (membentuk kata yang berstruktur huruf: a, i, n, dan m)
Tahap II: Kelompok
huruf/fonem u dan b ditambah huruf-huruf/fonem-fonem pada tahap I (membentuk kata
yang berstruktur
huruf: u, b + a, i, n, m)
Tahap
III: Kelompok huruf/fonem e dan p ditambah
huruf-huruf/fonem-fonem pada tahap I dan II (membentuk kata
yang berstruktur huruf: e, p + a, i, n, m +
u, b).
Tahap
IV: Kelompok
huruf/fonem o dan l ditambah huruf-huruf/fonem-fonem pada tahap I, II, dan III (membentuk kata
yang berstruktur
huruf: o, l + a, i, n, m + u, b + e, p).
Tahap V: Kelompok huruf/fonem h dan t ditambah
huruf-huruf/fonem-fonem pada tahap I, II, III dan IV (membentuk kata yang berstruktur huruf: h, t + a,
i, n, m + u, b + e, p + o, l).
Tahap VI: Kelompok
huruf/fonem d dan s ditambah huruf-huruf/fonem-fonem pada tahap I, II, III, IV
dan V (membentuk kata yang berstruktur
huruf: d, s + a, i, n, m + u, b + e, p + o, l + h, t).
2. Menelaah
dan Menyusun Kerangka Metode
Pada awal tahun pelajaran di kelas satu sekolah dasar kegiatan
belajar membaca permulaan memerlukan perhatian serius sehingga guru harus
benar-benar tepat dalam menentukan metode pembelajaran membaca yang akan
diterapkan.
Metode belajar membaca memiliki peran penting dalam
kegiatan siswa belajar membaca. Karena tidak mungkin dalam kegiatan tersebut
dilaksanakan tanpa metode. Sehingga metode merupakan keharusan dan bagian dari
strategi proses kegiatan belajar mengajar membaca. Metode adalah teknik atau
seni mengajar bagaimana agar materi pelajaran yang disampaikan dapat dipahami
siswa.
Untuk memudahkan uraian ini maka istilah metode dibagi
kedalam dua macam kelompok, yaitu metode membaca dan metode lainnya. Dalam metode
membaca dikenal dengan adanya metode eja (melafalkan bunyi huruf atau fonem),
metode huruf (menyebut nama huruf), metode suku kata, metode kata dan metode
kalimat. Sedangkan pada metode lainnya dikenal adanya metode seperti
bercerita, permainan, penemuan, poster, bertanya,
diskusi, pemberian tugas, kerja kelompok, ceramah, pemecahan masalah dan
lain-lainnya.
Dalam proses kegiatan belajar mengajar membaca
penerapan berbagai macam metode membaca dan metode lainnya tentu tidak serta
merta langsung diterapkan tetapi terlebih dahulu harus diketahui kegunaannya
lalu dipilih dan ditentukan urutan kesesuaiannya dengan memperhatikan kedekatan hubungan
keterkaitannya antar metode sehingga benar-benar tepat dan sesuai dalam
penerapannya.
Penerapan dari masing-masing metode dalam metode
membaca yang beragam tersebut tentu memiliki tujuan yang berbeda-beda tetapi
secara umum bertujuan agar siswa dapat memahami bentuk tulisan dan pelafalan.
Demikian juga penerapan dari masing-masing metode dalam metode lainnya yang juga
beragam tentu memiliki tujuan yang berbeda-beda pula tetapi secara umum
bertujuan agar siswa mudah memahami materi pelajaran yang diterimanya baik yang
didengar, dilihat, dirasakan, maupun yang dibacanya.
Dengan demikian berbagai macam metode baik metode
membaca maupun metode lainnya yang berbeda-beda tujuan tersebut perlu diadakan
pemilihan, pengurutan dan penggabungan dengan tepat sesuai kedekatan hubungan
keterkaitannya dalam suatu bentuk susunan pola-pola kegiatan belajar membaca
yang komprehensip, sistematik, dan sistemik yang sesuai dengan modalitas dan
karakteristik anak usia SD.
Disini metode kalimat dalam metode membaca sangat tepat apabila
diterapkan paling awal dalam kegiatan proses belajar mengajar membaca. Kemudian
pada metode kata lalu metode suku kata dan terakhir pada metode eja. Jadi dari
segi bentuk dan materi siswa terlebih dahulu diberi pelajaran dalam bentuk
global dengan materi yang bermakna yaitu kalimat dan kata kemudian kebentuk
bagian-bagian dengan materi yang tidak bermakna yaitu suku kata dan
huruf/fonem.
Sedangkan penerapan metode lainnya dapat diselipkan
diantara kelompok metode membaca seperti metode berceritera, permainan,
penemuan, dan poster/pajangan. Disini metode bercerita bersesuaian dengan
karakteristik anak usia SD yang suka atau senang mendengarkan
cerita yang menarik. Sangat tepat apabila wacana yang disusun guru diceritakan
di depan kelas. Sedangkan metode permainan dengan tebak-tebakan diterapkan pada
pelajaran menebak kata, suku kata dan fonem. Belajar sambil bermain merupakan
suatu cara yang dapat memikat perhatian siswa sesuai dengan dunianya. Kemudian
metode penemuan dapat digunakan dalam pemberian tugas siswa melafalkan
suatu kata/suku kata/fonem atau siswa menunjukkan tulisan suatu kata/suku
kata/fonem. Penemuan sangat besar maknanya bagi siswa karena siswa akan semakin
percaya diri dan berani memberi jawaban atas pertanyaan guru. Selanjutnya
metode poster/pajangan merupakan strategi guru agar pelajaran yang telah
diterima siswa tidak hilang tetapi tetap teringat dalam pikiran siswa. Caranya
adalah membuat rangkuman materi yang telah diterima siswa kemudian rangkuman
tersebut dipajangkan di depan kelas sehingga tiap hari terlihat oleh siswa.
Selanjutnya hasil telaah di atas dijadikan dasar untuk
menggabungkan kedua macam metode tersebut menjadi kerangka metode yang utuh.
Berikut ini adalah susunan kerangka metode hasil
penggabungan metode membaca dengan metode lainnya:
1.) Menyusun
Wacana
2.) Menceritakan
Isi Wacana Atau Membaca Wacana
3.)
Main Tebak Kata
4.)
Analisis Kata
5.)
Main Tebak Suku Kata
6.)
Penemuan Pelafalan dan Tulisan
Kata-Kata Baru (bagian pertama)
7.)
Analisis Suku Kata
8.)
Main Tebak Fonem
9.)
Penemuan Pelafalan dan Tulisan
Kata-Kata Baru (bagian kedua)
10) Mengeja
dan Membaca Kata yang Berakhir dengan Huruf Mati
11) Menguji
Ulang Struktur Kognitif Siswa
12) Pemajangan
3. Peng-assimilasian
Materi dengan Metode
Assimilasi melalui 2 fase, yaitu:
a. Fase
pertama assimilasi secara sederhana antara materi dengan metode pada setiap
tahapnya. Dalam hal ini materi hanya dikembangkan menurut garis besarnya saja melalui
kerangka metode
1.) Menyusun
Wacana.
Mengembangkan
kata-kata terpilih dalam materi awal pelajaran sesuai pertahapnya menjadi
wacana.
2.) Menceritakan Isi Wacana Atau Membaca Wacana
Wacana yang telah jadi digunakan sebagai bahan cerita atau bahan bacaan.
3.) Main
Tebak Kata
Penulisan letak kata-kata terpilih dipertukarkan sedemikian rupa untuk
permainan tebak kata.
4.)
Analisis Kata
Meceraikan kata-kata terpilih menjadi suku kata-suku kata.
5.)
Main Tebak Suku Kata
Penulisan suku kata dalam satu kata tiap kata-kata terpilih dipertukarkan sedemikian
rupa untuk permainan tebak-tebakan suku kata.
6.) Penemuan
Pelafalan dan Tulisan Kata-Kata Baru (Bagian Pertama)
Menemukan dengan melafalkan dan menunjukkan bentuk tulisan kata-kata baru yang
tersusun dari suku kata dalam kata-kata terpilih mulai dari suku kata lalu ke
kata.
7.)
Analisis Suku Kata
Menceraikan
suku kata menjadi huruf-huruf/fonem-fonem dari kata-kata baru yang telah
ditemukan sebelumnya.
8.)
Main Tebak Fonem
Penulisan huruf-huruf/fonem-fonem dalam kata-kata baru yang telah ditemukan
sebelumnya (no.6) dipertukarkan untuk permainan tebak-tebakan fonem.
9.) Penemuan
Pelafalan dan Tulisan Kata-Kata Baru (Bagian Kedua)
Menemukan dengan melafalkan dan menunjukkan bentuk tulisan kata-kata baru yang
tersusun dari huruf-huruf/fonem-fonem dalam
kata-kata baru yang telah ditemukan sebelumnya (no.6) mulai dari perhuruf/perfonem
lalu ke suku kata kemudian ke kata.
10) Mengeja dan Membaca Kata yang
Berakhir dengan Huruf Mati
Mengeja dan membaca kata-kata yang berakhir dengan huruf mati (konsonan) yang
ada dalam materi awal pelajaran dengan dieja perfonem kemudian dibaca persuku
kata lalu dibaca secara utuh dalam bentuk kata dengan berulang-ulang
11) Menguji
Ulang Struktur Kognitif Siswa
Membuat/menyusun rangkuman pelajaran di papan tulis yang terdiri dari
kata-kata terpilih, kata-kata baru dan kata-kata yang berakhir dengan huruf mati
kemudian mengadakan tes lisan atau tes perbuatan menggunakan tulisan kata-kata
dalam rangkuman pelajaran.
12)
Pemajangan
Membuat pemajangan pada papan khusus atau kertas karton yang memuat
rangkuman pelajaran dengan meletakkannya di depan kelas
b. Fase kedua assimilasi komplek antara materi dengan metode pada
setiap tahapnya. Dalam hal ini materi awal pelajaran dikembangkan melalui kerangka
metode secara komprehensip, sistematik dan sistemik sehingga membentuk sistem
yang utuh. Hasilnya dapat dilihat di bawah ini.
Tahap I
Tahap II
Tahap III
Tahap IV
Tahap V
Tahap VI
Rangkuman
Hasil
Pengembangan Materi Awal Pelajaran
Tahap I
ani mina
ima ini nani
nama mana mami
mama nina mai
nia ina main
aman iman niman
mimin imam naim
anam mamam mimim
Tahap II
banu ibu
ubi bimu iba
bibi babu babi
bau bui abu
ia abi aba
bab aib ubun-ubun
namun ummi umum
minum
Tahap III
eme papi
bene pena pumeni pipi pipa
papa napi nani
eni penipu menipu pupu
nina nia uap
map munip enni
inap embun
Tahap IV
pono oli
bola palu belo
mole lupa pala
bela bemo mono beli lalu
pola iba bali
lima pula bale
lama malu amal
amil nil mol
bon om bom
pop
Tahap V
itu toha
tati heni tahu
tebu honi ini
tani huni buta
bui hati batu atau
tina bata tabu
tini tata tiba abu
ubah buih penuh
aneh heboh buat bait
maut paut mepet
bobot
Tahap VI
susi sepeda
sado soto ada
dua di desa sudi
sisa dasi dadu
dosa susu soda
sisi sasa isi
usia dada sidu
duda adu asis
mas emas basis
abad manis bus
pos bos tes es
C. Aplikasi Praktis untuk
Pembelajaran
Sistem assimilasi materi dan
metode dalam proses belajar membaca permulaan adalah merupakan hasil
penyesuaian materi awal pelajaran yang dikembangkan melalui kerangka metode secara
komprehensip, sistematik, dan sistemik yang pada setiap tahapnya sistem
tersebut diterapkan dalam waktu 1 x pertemuan dengan cara sebagai berikut:
1. Menyusun
Wacana
Menyusun wacana merupakan langkah pertama. Pada langkah ini guru berupaya
menyusun wacana pada secarik kertas (untuk diceritakan) atau pada papan tulis
atau berupa pajangan tulisan yang telah jadi (untuk dibacakan) dengan
menggunakan kata-kata terpilih dalam materi
awal pelajaran yang telah dikembangkan sedemikian rupa (kata-kata terpilih
pada bab III bagian B) sebagai isi wacana sesuai pertahapnya.
Mengapa dengan wacana? Bahan pelajaran belajar membaca haruslah yang
bermakna lengkap dan dimengerti siswa. Bahan pelajaran yang demikian tentu akan
mudah dipahami siswa karena mengandung cerita sehingga dapat dikatakan sebagai
bahan pelajaran yang komunikatif dan bermakna. Dan secara tidak langsung siswa
sejak dini telah mulai diperkenalkan pada pelajaran satuan bahasa yang
terlengkap baik bentuk maupun maknanya, yaitu wacana.
2. Menceritakan Isi Wacana Atau Membaca Wacana
Langkah kedua menceritakan isi wacana atau membaca wacana. Pada bagian
ini guru bercerita tentang isi wacana yang telah disusunnya pada
secarik kertas atau bersama siswa membaca wacana yang telah ditulis
pada papan tulis atau pada pajangan tulisan yang telah jadi dengan
dibaca secara berulang-ulang. Setelah itu guru menulis kata-kata terpilih pada
papan tulis untuk dijadikan materi pelajaran pada kegiatan berikutnya (langkah ke 3).
Mengapa demikian? Mendengarkan cerita bagi siswa adalah hal yang sangat
menarik. Sedangkan membaca wacana bagi siswa sangat dibutuhkan agar lidah yang
semula kaku lambat laun akan mudah
mengucapkan kata-kata. Selain itu wacana yang diceritakan atau yang dibacakan
berulang-ulang akan memberi pemahaman pada siswa bahwa apa yang didengarnya
atau yang dibacanya mengandung cerita atau isi yang berbeda sekali dengan corat
coret yang biasa mereka lakukan.
3. Main
Tebak Kata
Pada langkah ketiga, yaitu main tebak kata. Langkah ini dilaksanakan dengan
permainan tebak-tebakan kata-kata terpilih yang telah ditulis pada papan tulis
disaat langkah ke 2. Pada permainan tersebut penulisan letak kata-kata terpilih
dipertukarkan sedemikian rupa kemudian kata demi kata disuruh tebak kepada
siswa bagaimana cara melafalkannya.
Mengapa memilih permainan? Belajar sambil bermain
merupakan suatu cara yang dapat memikat perhatian siswa sesuai dengan dunianya,
yaitu bermain. Pada permainan tebak kata ini siswa dengan daya nalarnya sendiri
dapat menangkap perbedaan bentuk globalnya (bentuk tulisan secara utuh tiap
kata) pada kata-kata terpilih dan sekaligus dapat menyebutkannya
(melafalkannya). Hal tersebut hampir serupa dengan contoh konkrit berikut ini:
Siswa dapat menyebutkan beberapa nama hewan yang melintas di depannya hanya
cukup melihat bentuk tubuhnya tanpa tahu bagian-bagiannya. Bahkan cukup
mendengar suaranya siswa dapat menyebutkan nama hewannya.
4. Analisis Kata
Langkah keempat adalah analisis kata. Langkah ini dilaksanakan dengan cara
meceraikan kata-kata terpilih di langkah ke 3 menjadi suku kata-suku kata tanpa
diterangkan apa suku kata itu. Guru hanya cukup membaca nyaring terputus-putus
sesuai suku katanya dengan diikuti seluruh siswa secara berulang-ulang hingga
akhirnya siswa fasih benar.
Mengapa kata perlu dianalisis? Hal tersebut semisal dengan sesuatu yang
terlihat dari jauh akan tampak beda bila dilihat dari dekat. Sebab yang jauh
bentuk globalnya yang dominan sedangkan yang dekat bentuk bagian-bagiannya yang
dominan terlihat lebih dahulu. Demikian juga tentang kata seperti pada langkah
ketiga anak hanya melihat kata dalam bentuk globalnya. Padahal pada bentuk yang
global itu ada bagian-bagian yang lebih kecil tetapi tak bermakna, yaitu suku
kata dan huruf/fonem. Oleh sebab itu agar anak lebih kenal dan mengerti pada
pelajaran tentang terbentuknya suatu kata maka melalui analisis kata anak
secara tak langsung telah belajar struktur kata yang terdiri dari suku kata
yang tidak bermakna. Dengan cara ini anak melalui daya nalarnya sendiri dapat memahami
bahwa kata yang tertulis dan yang diucapkannya tersusun dari beberapa suku kata
yang tidak memiliki makna.
5. Main
Tebak Suku Kata
Main tebak suku kata merupakan langkah kelima yang dilaksanakan setelah
siswa fasih melafalkan suku kata. Suku kata dalam satu kata terpilih di langkah
ke 4 ditulis bertukar tempat lalu disuruh tebak kepada siswa bagaimana cara
melafalkannya. Atau guru melafalkan salah satu suku kata lalu siswa disuruh
menunjukkan bentuknya (tulisan suku kata yang telah ditulis guru di papan
tulis).
Mengapa pengenalan suku kata melalui permainan? Daya ingat siswa dapat
diperkuat melalui belajar sambil bermain. Permainan menebak bunyi (pelafalan )
suku kata dan bentuk (tulisan) suku kata tanpa menjelaskan fungsi dan maknanya
adalah suatu hal yang menarik bagi siswa sebab sebelumnya siswa telah mampu
menangkap bentuk globalnya (kata) dan bagian-bagiannya (suku kata) serta telah
fasih melafalkannya. Permainan menebak bunyi pelafalan dan bentuk tulisan suku
kata dengan mengubah letak urutannya dalam satu kata akan merangsang daya nalar
siswa hingga pada pengertian bahwa kata terdiri dari suku kata-suku kata yang
tersusun sedemikian rupa dan bila tidak tepat strukturnya akan diperoleh bentuk
yang kacau dan tidak memiliki makna, yaitu bukan kata.
6. Penemuan Pelafalan dan Tulisan
Kata-Kata Baru (Bagian Pertama)
Pada langkah keenam ini guru mengupayakan agar siswa mampu menemukan
pelafalan dan bentuk tulisan kata-kata baru (baru bagi siswa) dengan
menggunakan suku kata-suku kata dari kata-kata terpilih pada langkah ke 5.
Caranya guru memberi contoh bagaimana menemukan kata-kata baru dengan
menggabung-gabungkan antar suku kata pada kata-kata terpilih sehingga terbentuk
kata-kata yang baru kemudian melafalkannya mulai dari suku kata lalu ke kata.
Atau guru melafalkan beberapa suku kata dari suatu kata yang baru lalu
menunjukkan tulisannya yang telah ada di papan tulis. Selanjutnya guru banyak
menulis kata-kata baru di papan tulis dengan menggunakan suku kata-suku kata
dari kata-kata terpilih di langkah 5 tanpa diterangkan dan tanpa dibaca tetapi
hanya ditunjukkan dari mana suku kata-suku kata tersebut diambil. Setelah itu
guru menyuruh siswa menebak pelafalan dari kata-kata baru tersebut mulai dari
suku kata lalu ke kata sehingga semua pelafalan kata-kata baru tersebut dapat
ditemukan siswa. Atau guru melafalkan kata-kata baru lalu siswa disuruh
menunjukkan tulisan kata tersebut yang telah ada di papan tulis.
Mengapa menggunakan cara penemuan? Penemuan merupakan suatu prestasi yang
berharga. Penemuan pelafalan atau tulisan kata-kata baru bagi siswa sangat
besar pengaruhnya. Motivasi siswa terhadap pelajaran akan meningkat sehingga
mendorong daya kreatifitas siswa untuk mengembangkan kebahasaannya kearah yang
lebih baik. Dalam hal ini siswa telah mempelajari cara membangun struktur
kata-kata melalui perangkaian suku kata.
7. Analisis
Suku Kata
Pada analisis suku kata, langkah ketujuh ini guru menguraikan suku kata
menjadi huruf-huruf/fonem-fonem dengan menggunakan suku kata-suku kata pada kata-kata
baru yang telah ditemukan siswa pada langkah ke 6. Dalam pelaksanaannya siswa
diajari cara melafalkan suku kata secara terputus-putus dan kemudian mengeja
huruf (bunyi huruf bukan nama huruf). Contoh kata sepatu diceraikan atas suku
katanya se-pa-tu dibaca se…pa…tu… kemudian suku kata tersebut dipecah-pecah
lagi menjadi huruf-huruf/fonem-fonem, yaitu s-e-p-a-t-u dengan dieja
es-e-ep-a-et-u lalu dilanjutkan dengan dibaca esse-eppa- ettu terus dibaca
se-pa-tu akhirnya dibaca sepatu.
Mengapa suku kata harus dianalisis? Suku kata adalah bagian dari struktur
kata yang tidak memiliki makna tetapi berfungsi membentuk kata. Perkataan
adalah bunyi bahasa yang mengandung makna. Kata ketika dilafalkan
(dibaca/disuarakan) yang kemudian terdengar pada telinga kita sebenarnya adalah
merupakan rangkaian bunyi huruf (fonem) yang berbeda-beda. Memberi latihan
melafalkan huruf-huruf secara terpisah-pisah kemudian secara terangkai dalam
bentuk suku kata dan kata dengan diulang-ulang akan merangsang daya nalar siswa
pada pengertian bahwa tiap-tiap bentuk huruf bila dilafalkan memiliki bunyi
yang berbeda-beda (berbeda huruf berbeda pula bunyinya) sehingga secara tidak
langsung siswa telah belajar mengenal satuan bahasa yang terkecil yang tidak
mempunyai makna tetapi berfungsi untuk membentuk suku kata dari suatu kata,
yaitu huruf/fonem.
8. Main
Tebak Fonem
Langkah kedelapan adalah main tebak fonem dengan menggunakan fonem-fonem dari
kata-kata baru pada langkah ke 7. Pada bagian ini guru mengadakan permainan
dengan siswa melalui permainan menebak fonem (bunyi huruf bukan nama huruf)
dengan melakukan tukar-menukar huruf/fonem dalam satu suku kata kemudian dalam
satu kata. Dalam hal ini bila guru menunjukkan huruf siswa yang melafalkannya
(mengucapkan fonemnya), jika guru melafalkan suatu fonem (bunnyi huruf bukan
nama huruf) siswa yang menunjukkan lambang fonemnya (hurufnya) yang ada di
papan tulis.
Mengapa dilakukan dengan permainan? Permainan adalah sesuatu yang disenangi
siswa. Dengan melalui permainan ingatan siswa terhadap bentuk huruf dan
pelafalannya (fonemnya) semakin mantap dalam mengenal perbedaan bentuk huruf
dan pelafalannya.
9. Penemuan Pelafalan dan Tulisan
Kata-Kata Baru (Bagian Kedua)
Pada langkah kesembilan, penemuan pelafalan dan tulisan kata-kata baru ini
guru memberi contoh siswa dalam menyusun struktur kata-kata baru lagi dengan
menggunakan huruf-huruf/fonem-fonem kata-kata baru sebelumnya pada langkah ke 8
kemudian melafalkannya (mengucapkan fonemnya) mulai dari perhuruf/perfonem lalu
ke suku kata kemudian ke kata. Selanjutnya guru banyak menulis kata-kata baru lagi
menggunakan huruf-huruf pada langkah 8 tanpa diterangkan dan tanpa dibaca
tetapi hanya ditunjukkan dari mana huruf-huruf tersebut diambil. Kemudian guru
menyuruh siswa menebak pelafalan kata-kata baru tersebut atau guru melafalkan
suatu kata-kata baru lalu siswa disuruh menunjukkan tulisan kata-kata
tersebut yang telah ada di papan tulis
mulai dari perhuruf/perfonem, persuku kata kemudian perkata sehingga semua
pelafalan dan tulisan kata-kata baru yang tertulis di papan tulis telah dapat
ditemukan siswa.
Mengapa pelajaran langkah kesembilan ini diarahkan pada penemuan pelafalan
dan tulisan kata-kata baru? Penemuan pelafalan dan tulisan kata-kata baru oleh
siswa yang strukturnya merupakan penggabungan huruf-huruf/fonem-fonem yang
diambil dari huruf/fonem kata-kata terpilih yang telah dipahami siswa
sebelumnya adalah merupakan kebanggaan tersendiri pada siswa dalam berlatih
mengembangkan kreatifitas kebahasaannya yang dimulai dari satuan bahasa yang
terkecil (fonem) lalu ke suku kata kemudian ke bentuk kata atau dari bentuk
yang tidak bermakna kebentuk yang bermakna sehingga pada akhirnya melalui
kegiatan ini daya nalar siswa akan sampai pada pengertian bahwa fonem-fonem
yang tertulis dalam bentuk huruf-huruf dan dilafalkan secara terangkai dan
tepat menurut logika maka akan terbentuk suatu struktur fonem-fonem yang
memiliki makna, yaitu kata.
10. Mengeja dan Membaca Kata yang
Berakhir dengan Huruf Mati
Pada langkah kesepuluh ini siswa belajar mengeja dan membaca kata-kata yang
berakhir dengan huruf mati (konsonan) yang ada dalam materi awal pelajaran.
Dalam pelaksanaannya kata-kata tersebut pertama dieja perfonem kemudian dibaca
persuku kata lalu dibaca secara utuh dalam bentuk kata dengan berulang-ulang
hingga siswa fasih benar.
11. Menguji Ulang Struktur
Kognitif Siswa
Pada langkah kesebelas ini guru membuat/menyusun rangkuman pelajaran di
papan tulis yang terdiri dari kata-kata terpilih (langkah ke 3), kata-kata baru
(langkah ke 6 dan ke 9) dan kata-kata yang berakhir dengan huruf mati (langkah
ke 10). Kemudian guru mengadakan tes lisan atau tes perbuatan kepada siswa
dengan menyuruh siswa membacakan atau menunjukkan tulisan kata-kata dalam
rangkuman pelajaran.tersebut.
Langkah kesebelas ini hanya sebagai pengulangan untuk memperkuat daya
ingat siswa terhadap materi pelajaran yang telah diterima sejak langkah pertama
hingga langkah kesepuluh.
12. Pemajangan
Pemajangan merupakan langkah yang terakhir, yaitu langkah kedua belas.
Pada langkah ini guru membuat pemajangan pada papan khusus atau kertas karton
yang memuat rangkuman pelajaran (langkah ke 11) dengan meletakkannya di depan
kelas yang dapat dilihat dan dibaca siswa.
Kegiatan pemajangan ini bertujuan
untuk:
1)
Agar hasil-hasil kegiatan belajar
membaca tidak hilang begitu saja.
2) Agar
ada kebanggaan tersendiri pada
siswa karena temuannya dimuat
dalam pajangan.
3) Agar selalu
dilihat siswa sehingga ingatan siswa terhadap bahan pelajaran tetap terpelihara secara utuh.
4)
Sebagai sumber belajar yang
setiap saat dapat digunakan lagi.
Dari 12 langkah dalam proses belajar
membaca dengan sistem assimilasi tersebut di atas penerapannya memberi peluang
untuk dapat dilaksanakan dalam waktu 1 x pertemuan pada setiap tahapnya.
D. Penggandaan
Untuk mempercepat dan menjangkau
keseluruh pelosok tanah air penulis
memilih penggandaan melalui internet.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
Sistem assimilasi materi dengan metode
dalam proses belajar membaca permulaan yang telah dibahas di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Dalam sistem
assimilasi tersebut secara tak langsung siswa diperkenalkan pada pelajaran
tentang struktur bahasa mulai dari yang paling lengkap makna sampai ke yang tak
bermakna, yaitu: dari wacana ke kalimat lalu ke kata terus ke suku kata dan
terakhir ke huruf/fonem. Dengan demikian materinya dari segi struktur bahasa
bersifat komprehensip dan sistematik.
2. Sistem
assimilasi tersebut melibatkan banyak metode yang terangkai secara terurut, saling
terkait dan saling berhubungan serta memiliki tujuan-tujuan yang hirarkis
sehingga ada kesinambungan penerapan metode dari metode yang pertama sampai ke
metode yang terakhir. Hal tersebut memudahkan siswa bernalar secara bertahap
dan terurut terhadap apa yang didengar, dilihat maupun yang dibacanya. Pendek
kata metode yang digunakan terangkai secara sistematik dan sistemik.
3. Macam metode
yang digunakan dalam sistem tersebut cukup beragam, yaitu: Langkah ke 1 metode
poster berupa pajangan tulisan wacana,
langkah ke 2 metode berceritera atau metode kalimat berupa siswa meniru ucapan
guru dalam membaca kalimat, langkah ke 3 metode permainan atau metode kata
berupa tebak-tebakan kata, langkah ke 4 metode suku kata, langkah ke 5
metode permainan, langkah ke 6 metode
penemuan, langkah ke 7 metode eja (fonem), langkah ke 8 metode permainan,
langkah ke 9 metode penemuan, langkah ke 10 metode eja (fonem), langkah ke 11 metode kata dan
langkah ke12 metode poster/pajangan rangkuman. Sehingga metodenya cukup
komprehensip, sistematik, dan sistemik .
4. Materi awal
pelajaran yang terdiri dari 6 tahap yang tiap tahapnya dikembangkan melalui kerangka
metode dengan penerapan diselesaikan dalam 1 x pertemuan. Ini menunjukkan bahwa
materi tersebut bersifat berjenjang, berurutan, saling terkait, dan menyeluruh, sehingga materinya dapat
dikatakan memiliki sifat komprehensip, sistematik, dan sistemik.
5. Sistem
assimilasi tersebut sarat materi dan metode yang tersusun secara berurutan,
berhubungan dan berjenjang sehingga sistem tersebut bersifat komprehensip, sistematik,
dan sistemik.
B. Rekomendasi
Bagi para akademisi, peneliti dan
pemerhati pendidikan ”Proses Belajar Membaca Permulaan dengan Sistem Assimilasi
Materi dan Metode yang Komprehensip, Sistematik, dan Sistemik” ini dapat
menjadi informasi baru dalam upaya pengembangan metode pembelajaran membaca
permulaan. Dan bagi para praktisi (pendidik/guru SD) dapat menjadi solusi untuk
mempermudah siswa dalam memahami bentuk tulisan dan pelafalan. Proses
belajar membaca permulaan dengan sistem tersebut penerapannya
sangat terkait erat dengan penyusunan materi awal pelajaran yang terbagi dalam
6 tahap yang tiap tahapnya harus dikembangkan melalui kerangka metode yang tersusun
secara komprehensip, sistematik dan sistemik dengan pelaksanaan selesai dalam
waktu 1 x pertemuan.
DAFTAR PUSTAKA
Herry
Hermawan, Asep; dkk. 2008. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:
Universitas Terbuka
Hatimah, Ihat; dkk. 2007. Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta:
Universitas Terbuka
Lestari Mikarsa, Hera; Taufik, Agus; dan Lestari Prianto, Puji. 2007.
Pendidikan Anak di SD. Jakarta: Universitas Terbuka
Sumantri, Mulyani; dan Syaodih, Nana. 2007. Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: Universitas Terbuka
Winataputra, Udin S; dkk. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Universitas Terbuka
Wahyudin, Dinn; Supriadi; dan Abduhak, Ishak. 2007. Pengantar Pendidikan.
Jakarta: Universitas Terbuka